Kamu mungkin merasa hidup rohanimu baik-baik saja. Rajin ibadah, aktif pelayanan, bahkan sering mengucap syukur dalam doa. Tapi izinkan aku bertanya: bagaimana hubunganmu dengan orang-orang di sekitarmu?
Apakah ada seseorang yang kamu hindari karena pernah menyakiti kamu? Apakah kamu menyimpan luka yang belum sembuh, atau bahkan diam-diam memelihara rasa benci?
Firman Tuhan dalam 1 Yohanes 4:20–21 tidak memberi ruang untuk kompromi:
“Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”
Ayat ini keras, bahkan mungkin menohok. Tapi justru itulah kebenaran yang perlu kamu dengar. Kamu tidak bisa berkata bahwa kamu mengasihi Allah—yang tidak bisa kamu lihat—kalau kepada saudara seiman yang ada di depan matamu saja kamu masih menyimpan benci.
Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama bukan dua hal terpisah. Yang satu tidak bisa berdiri tanpa yang lain. Iman Kristen bukan hanya soal relasi vertikal dengan Tuhan, tapi juga relasi horizontal dengan sesama.
Mengapa ini penting? Karena kasih adalah identitas utama orang percaya. Tuhan tidak minta kamu sekadar rajin berdoa atau banyak tahu Alkitab. Yang Dia inginkan adalah hatimu berubah—penuh kasih, seperti hati-Nya.
Yesus sendiri berkata bahwa perintah yang terutama adalah: “Kasihilah Tuhan Allahmu…” Dan yang kedua: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kedua hukum ini tak terpisahkan. Kalau kamu sungguh mengasihi Allah, kasih itu akan mengalir ke sekitar—kepada saudaramu, keluargamu, bahkan kepada musuhmu.
Lalu bagaimana jika kamu merasa tidak sanggup mengasihi? Mungkin kamu berkata, “Aku ingin mengampuni, tapi aku masih sakit hati.” Atau, “Aku sudah mencoba, tapi dia terus menyakiti aku.”
Tuhan tahu itu. Dia tidak meminta kamu berpura-pura baik. Tapi Dia mengundangmu untuk datang kepada-Nya, membawa hatimu yang hancur dan lelah, supaya kasih-Nya sendiri yang memulihkan dan memampukan kamu.
Kasih bukan soal emosi sesaat—kasih adalah pilihan. Pilihan untuk berkata: “Aku tidak akan membalas.” Pilihan untuk berkata: “Aku ingin melihat kamu juga bertumbuh.” Pilihan untuk menyerahkan luka kepada Tuhan, dan percaya bahwa Dia sanggup menyembuhkan lebih dalam daripada siapa pun.
Cinta kasih dalam kekristenan bukan cinta yang manis-manis saja. Ini kasih yang bertahan meski dikhianati. Kasih yang mengampuni meski disakiti. Kasih yang memilih untuk terus mengasihi, seperti Yesus telah mengasihimu.
Dan itulah yang membuat iman Kristen berbeda. Bukan karena kita kuat, tapi karena kita tinggal dalam kasih Allah—kasih yang lebih dulu datang kepada kita.
Maka, hari ini, renungkanlah:
Apakah kamu sedang hidup sebagai orang yang mengasihi dengan sungguh sungguh, atau hanya sekadar berkata “aku mengasihi Allah” tapi masih memelihara luka dan benci?
Jika ada seseorang yang perlu kamu ampuni, ampuni dia. Jika ada relasi yang rusak, mintalah keberanian untuk memulihkan. Dan jika hatimu belum sanggup, katakan saja kepada Tuhan, “Tolong aku untuk mengasihi.”
Karena kasih itu bukan berasal dari dirimu sendiri, melainkan dari Dia yang terlebih dahulu mengasihimu.
